Ucapan Imam Untuk Merapatkan dan Meluruskan Shaf


Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat untuk merapatkan shaf. Diantaranya:

1. Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan makmumnya,

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا

“Aqiimuu shufufakum watarosshu”
”Luruskan shaf kalian dan rapatkan.” (HR. Bukhari 719)

2. Juga dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan,

سوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَفِّ مِنْ تَماَمِ الصَّلَاةِ

“Sawwuu shufuufakum faintaswiyatasshufuufi miniqoomatissholaati”

”Luruskan shaf kalian, karena meluruskan shaf bagian dari kesempurnaan shalat.” (HR. Muslim 433).

3. Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,

أقيموا الصَفِّ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ

“Aqiimusshoffafiissholaati fainna iqoomatasshoffa minhusnissholaati”

Luruskan shaf dalam shalat, karena meluruskan shaf bagian dari kesempurnaan shalat. (HR. Muslim 435)

4. Hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,

اِسْتَوُّوا وَلَا تَـخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Istawuu walatakhtalifuu fatakhtalifa quluubukum”

Luruskan, dan jangan berselisih (dalam lurusnya shaf), sehingga hati kalian menjadi berselisih.

Kata Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan di atas, sambil mengusap pundak-pundak makmum. (HR. Muslim 122).


Shalat Antara Adzan Dan Iqamah


Disunnahkan bagi seorang muslim untuk mengerjakan shalat antara adzan dan iqamah. Hal tersebut didasarkan pada dalil berikut ini.

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( بَيْنَ كُلِّ أذَانَيْنِ صَلاَةٌ ، بَيْنَ كُلِّ أذَانَيْنِ صَلاَةٌ ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ )) قَالَ فِي الثَّالِثةِ : (( لِمَنْ شَاءَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
المُرَادُ بِالأَذَانيْنِ : الأذَانُ وَالإقَامَةُ .
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara setiap dua azan terdapat shalat, di antara setiap dua azan terdapat shalat, di antara setiap dua azan terdapat shalat.” Beliau berkata pada yang ketiga kalinya, “Bagi siapa yang ingin.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 627 dan Muslim, no. 838]. Yang dimaksud dua azan adalah azan dan iqamah.

Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa dua adzan yang dimaksud bukan dua adzan shalat wajib seperti adzan zhuhur dan ‘ashar, ‘ashar dan maghrib, dan seterusnya, sebab di sana jelas ada shalat wajib, sementara dalam hadits di atas Nabi saw memberikan pilihan “bagi yang mau” yang berarti shalat sunat. Yang dimaksud dua adzan tersebut adalah adzan dan iqamah. Artinya di antara adzan dan iqamah itu ada jeda untuk shalat sunat. Sabda Nabi saw “li man sya`a; bagi siapa yang mau” memang menunjukkan bahwa perintah tersebut tidak muakkadah (ditekankan) sebagaimana halnya shalat tahajjud atau tahiyyatul-masjid. Akan tetapi bukan berarti bahwa perintah Nabi saw tersebut menunjukkan mubah sehingga harus selalu diabaikan setiap harinya. Apalagi sangat berlebihan jika kemudian malah divonis sebagai bid’ah. Kalau ashalnya perintah, maka ketika turunnya menjadi sunat, bukan menjadi mubah apalagi bid’ah.

Hadits shalat antara dua adzan ini tidak perlu dipertentangkan dengan hadits-hadits shalat rawatib lainnya yang menyebutkan qabla shubuh, qabla zhuhur, ba’da zhuhur, ba’da maghrib, dan ba’da ‘isya. Metode yang semestinya ditempuh dalam memahami hadits-hadits Nabi saw adalah metode jama’ (mempersatukan), bukan tarjih (mempertentangkan mana yang lebih kuat) ketika dua-duanya sama-sama berdasar hadits shahih. Jadi rawatib yang lima (menurut kelompok yang membatasi rawatib hanya lima) tetap ada, shalat antara dua adzan pun ada. Kedua-duanya merupakan sunnah yang sebaiknya diamalkan.

Maka dari itu, Bilal sendiri sebagai muadzdzin Nabi saw mengaku konsisten mengamalkan shalat antara adzan dan iqamah. Artinya di zaman Nabi saw, selepas adzan tidak langsung iqamah, melainkan ada jeda dahulu untuk sekedar shalat dua raka’at:

Abu Buraidah berkata: Rasulullah saw bertanya: “Hai Bilal, mengapa kamu mendahuluiku ke surga? Tidaklah aku masuk surga kecuali aku dengan suara alas kakimu di depanku… Bilal menjawab: “Wahai Rasulullah, tidaklah aku adzan sekalipun kecuali aku shalat dua raka’at (sesudah adzan), dan tidaklah kena hadats padaku sekalipun kecuali aku berwudlu langsung dan aku menilai bahwa Allah punya hak dua raka’at yang harus aku tunaikan.” Rasulullah saw menjawab: “Berarti karena dua amal tersebut (shalat syukrul-wudlu dan shalat ba’da adzan/qabla shalat wajib).” (Sunan at-Tirmidzi abwab al-manaqib bab manaqib ‘Umar ibn al-Khaththab no. 3689)

Anas ibn Malik ra juga melaporkan bahwa para shahabat biasa mengamalkan shalat antara adzan dan iqamah ini. Dalam satu kesempatan shalat maghrib Anas ra menceritakan:

Kami dahulu di Madinah, jika muadzdzin selesai adzan maghrib, jama’ah bersegera mendekati tiang-tiang dan shalat dua raka’at. Sehingga sungguh ada pendatang asing yang masuk masjid ia menyangka shalat maghrib sudah dikerjakan saking banyaknya jama’ah yang shalat qabla maghrib (Shahih Muslim bab istihbab rak’atain qabla shalatil-maghrib no. 1976)

Jelaslah bahwa shalat antara adzan dan iqamah itu—sebelum shalat wajib yang lima waktu—statusnya sunnah yang istihbab; dianjurkan dan disukai. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, salah satu hikmah dari shalat ini adalah memanfaatkan waktu ijabah do’a antara adzan dan iqamah dengan memanjatkan do’a pada waktu shalat (Fathul-Bari bab kam bainal-adzan wal-iqamah). Wal-‘Llahu a’lam

Dari berbagai sumber




Adakah Sholat Sunah Antara Adzan dan Iqamah ?

Adakah sholat Sunnah diantara azan dan iqomah? Berikut beberapa hadis nabi yang menerangkannya:

Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Zaid] dari [Ayyub] dari [Nafi’] dari [‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu] berkata; “Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat Zhuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat Maghrib di rumah Beliau, dua raka’at sesudah shalat ‘Isya’ di rumah Beliau dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh, dan pada pelaksanaan shalat ini tidak ada waktu senggang buat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “. Telah menceritakan kepada saya [Hafshah]: “Bahwasanya bila mu’adzin sudah mengumandangkan adzan dan fajar sudah terbit, Beliau shalat dua raka’at”. (Shahih Bukhari 1109)

telah menceritakan kepada kami [Hannad] berkata; telah menceritakan kepada kami [Waki’] dari [Kahmas bin Al Hasan] dari [Abdullah bin Buraidah] dari [Abdullah bin Mughaffal] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Antara dua adzan ada shalat bagi yang ingin mengerjakannya.” Ia berkata; “Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin Az Zubair.” Abu Isa berkata; “Hadits Abdullah bin Al Mughaffal derajatnya hasan shahih.” Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berselisih pendapat tentang shalat sebelum maghrib, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat sebelum maghrib tidak ada. Dan telah diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka melaksanakan shalat dua rakaat sebelum maghrib, yaitu antara iqamah dan adzan. Ahmad dan Ishaq berkata; “Jika seseorang mengerjakannya maka itu sebuah kebaikan.” Mereka berdua menganggap bahwa hal itu hukumnya sunah.” (Tirmidzi 170)

Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yazid] berkata, telah menceritakan kepada kami [Kahmas bin Hasan] dari [‘Abdullah bin Buraidah] dari [‘Abdullah bin Mughaffal] berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalat (sunah).” Kemudian pada ucapan beliau yang ketiga kalinya, beliau menambahkan: “Bagi yang mau.” (Shahih Bukhari 591)

Telah menceritakan kepada kami [Ishaq Al Washithi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Khalid] dari [Al Jurairi] dari [Abu Burdah] dari [‘Abdullah bin Mughaffal Al Muzni], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Di dua adzan (adzan dan iqamat) ada shalat sunah -beliau ucapkan tiga kali- bagi yang mau.” (Shahih Bukhari 588)

 Ahmad bin Hanbal radliyallahu’anhu berkata; telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa’id] berkata; telah menceritakan kepada kami [Kahmas] berkata; telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Buraidah] dari [Ibnu Mughaffal] dari Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Setiap waktu antara dua adzan adalah ada shalat bagi siapa yang menghendakinya.”(Musnad Ahmad 16188)


Di Kutip dari : https://artikelabifadillah.wordpress.com

Keutamaan Shalat Witir yang Luar Biasa

Shalat witir adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari sebagai penutup shalat malam lainnya seperti shalat tahajud) maupun shalat tarawih. Shalat witir hukumnya sunnah muakkad dan ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa shalat witir wajib hukumnya untuk menutup shalat malam yang dikerjakan sebagaimana shalat witir tidak pernah ditinggalkan oleh Rasul selama hidupnya dan dalam kondisi apapun. Shalat witir juga disebut sebagai tambahan shalat dan beberapa hadits berikut ini menjelaskan tentang keutamaan shalat witir :

1.Sebagai tambahan shalat
Shalat witir sebagai shalat tambahan. Hadits berikut menjelaskan bahwa shalat witir adalah shalat yang dianjurkan untuk duikerjakan di antara waktu shalat fardu yakni  isya dan sebelum waktu subuh datang. Dengan melaksanakan shalat witir kita bisa menambah shalat dan tentunya mendapatkan pahala dari shalat tersebut. Sebagaimana hadits berikut ini

 ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kalian tambahan shalat, yaitu shalat Witir, maka shalat Witirlah kalian antara waktu shalat ‘Isya’ hingga shalat Shubuh.’” [HR. Ahmad]

 “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’alatelah memberi kalian tambahan shalat, maka peliharalah dia, yaitu shalat Witir.

2.Menyempunakan Sebagai penyempurna shalat malam
Shalat witir adalah penutup dari shalat malam yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah bangun tidur dan tanpa shalat witir tidak akan sempurna shalat malam atau qiyamul lail seseorang. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini
 “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat Witir”

3. Shalat witir dicintai Allah
Allah sangat menyukai sesuatu yang ganjil karena Allah adalah satu. Sebagaimana rakaat shalat witir yang ganjil,  dan witir merupakan salah satu ibadah yang dicintai Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam haduts Rasulullah  SAW berikut ini

 “Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai orang-orang yang melakukan shalat Witir, maka shalat Witirlah, wahai para ahli al-Qur-an.”

Sebagai hamba Allah yang beriman  dan bertaqwa tentunya kita sebagai umatnya juga akan mencintai apa yang di cintai oleh Allah dan berusaha untuk melaksanakan segala perintahnya termasuk menjalankan shalat witir.

4. Shalat yang lebih baik dari unta merah
Hadits menyebutkan bahwa keutamaan shalat witir adalah lebih baik dari unta merah. Hal ini berarti bahwa shalat witir yang dikerjakan bernilai lebih besar dari nilai seekor unta merah terutama bila dikerjakan sebelum waktu shalat subuh datang. Berikut hadits yang menyebutkan keutamaan tersebut

Telah menceritakan kepada Kami [Abul Walid Ath Thayalisi] dan [Qutaibah bin Sa’id] dari [Kharijah bin Hudzafah], Abu Al Walid Al Adawi berkata; Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam keluar menemui Kami dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan bagi kalian sebuah shalat yang dia lebih baik bagi kalian dari pada unta merah, yaitu shalat witir, dan telah menjadikannya berada diantara shalat Isya hingga terbit fajar.” (HR Abu dawud)

5. Dikabulkan doanya
Waktu melaksanakan shalat witir adalah waktu yang tepat untuk berdoa dan merupakan waktu yang dekat dengan Allah SWT. Doa yang dipanjatkan setelah shalat witir bisa jadi merupakan salah satu doa yang akan diijabah oleh Allah SWT.

6. Shalatnya disaksikan malaikat
Shalat witir yang dilaksanakan di penghujung malam disaksikan oleh malaikat dan malaikat tentunya kana memebawa berkah dan ikut mendoakan kita kepada Allah SWT. Hal tersebut dijelaskan dalam hadits berikut ini yang diriwayatkan oleh imam Muslim

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Hafsh] dan [Abu Mu’awiyah] dari [Al A’masy] dari [Abu Sufyan] dari [Jabir] ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia melakukan witir di awal malam. Dan siapa yang berharap mampu bangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena shalat di akhir malam disaksikan (oleh para malaikat) dan hal itu adalah lebih afdlal (utama).” Abu Mu’awiyah berkata; “Mahdlurah (dihadiri oleh para malaikat).” (HR. Muslim)

7.  Tidak pernah ditinggalkan Rasulullah
Ada tiga perkara yang tidak pernah ditinggalkan Rasul dalam hidupnya yakni berpuasa selama tiga hari setiap bulan, mendirikan shalat dhuha  dan melaksanakan shalat witir. Rasul tidak pernah meninggalkan shalat witir dan apabila ia meninggalkannya, beliau akan mengqadha shalt witir yang ditinggalkannya tersebut. Hal ini dikuatkan oleh hadits rasulullah berikut ini :

 “Kekasihku Rasulullah  memberi wasiat kepadaku agar aku berpuasa 3 hari setiap bulan, mendirikan shalat Dhuha 2 raka’at dan shalat witir sebelum aku tidur” (HR. Bukhori)

8. Diberi petunjuk dan kekuatan oleh Allah SWT
Orang yang melaksanakan shalat witir akan senantiasa merasa kuat dalam menghadapi cobaan di dunia ini dan doanya akan senantiasa di dengar oleh Allah SWT. Allah SWT senantiasa memberi petunjuk bagi umatnya yang menjalankan perintahnya serta melakukan apa yang dia cintai. Pada saat shalat witir, ada doa qunut yang bisa kita baca sebagai permohon petunjuk dan keselamatan kepada Allah SWT. Berikut adalah doa qunut yang bisa dibaca saat melaksanakan shalat witir

 “Ya Allah, kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan shalat dan sujud, kepada-Mu kami berusaha dan bersegera (melakukan ibadah). Kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut kepada siksaan-Mu. Sesungguh-nya siksaan-Mu akan menimpa pada orang-orang kafir. Ya Allah, kami minta pertolongan dan memohon ampun kepada-Mu, kami memuji kebaikan-Mu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepada–Mu, kami tunduk kepada-Mu dan meninggalkan orang-orang yang kufur kepada-Mu.”

Demikian keutamaan shalat witir yang dapat kita ketahui dan semoga setelah mengetahui keutamaan shalt witir tersebut kita bisa mengamalkannya terutama setelah melaksanakan shalat tarawih di bulan ramadhan


Sholat Sunnah Wudhu’


Sholat sunnah wudhu’ ialah shalat sunnah yang dikerjakan setelah selesai berwudhu. Shalat Sunnah Wudhu merupakan salah satu ibadah sunnah  yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW apabila seseorang telah selesai berwudhu’. jadi apabila kita telah selesai berwudhu’ maka sempurnakanlah wudhu’ dengan melakukan sholat sunnah wudhu’ sebanyak dua rakaat. Hukum sholat wudhu’ adalah sunnah. Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdausa.

Dianjurkan bagi orang yang berwudhu melakukan shalat dua rakaat setelah selesai berwudhu, berdasarakan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِل بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلاَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ (رواه مسلم، رقم 234)

“Tidaklah seseorang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu shalat dua rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan wajib baginya (mendapatkan) surga." (HR. Muslim, no. 234)

Diriwayatkan oleh Bukhari, 160 dan Muslim, 22 dari Utsman bin Affan radhiallahu’anhu berkata,

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian berdiri melaksanakan dua rakaan dengan tidak mengucapkan pada dirinya, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lalu.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Di dalamnya ada anjuran shalat dua rakaat setelah berwudhu.”

Yang dianjurkan adalah melaksanakan langsung setelah wudhu.
An-Nawawi rahimahullah berkomentar, “Dianjurkan dua rakaat setelah wudhu karena ada hadits shahih tentang itu.” (Al-Majmu Syarh Al-Muhadzb, 3/545)

Waktu Pelaksanaan Sholat Sunnah Wudhu
Sholat sunnah wudhu dikerjakan  disaat seseorang telah selesai mengambl air wudhu’nya  secara sempurna, kemudian membaca doa setelah berwudhu. Setelah itu barulah kita melaksanaakn sholat wudhu 2 rakaat, dan setelahnya kita dapat melaksanakan sholat sunah lain atau sholat fardhu lainnya. Jadi sholat wudhu’ dapat dikerjakan kapanpun setelah ambil air wudhu’  diluar waktu-waktu yang diharamkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dianjurkan shalat dua rakaat setelah berwudhu meskipun pada waktu yang dilarang, hal itu dikatakan oleh Syafiiyyah.” (Al-Fatawa Al-Kubro, 5/345)

Zakariya Al-Anshari dalam kitab ‘Asna Al-Matholib, 1/44 mengatakan, “Dianjurkan bagi yang berwudhu, shalat dua rakaat setelah wudhu pada waktu kapanpun.”

At-Tanari As-Syafi’I dalam kitab Nihayatuz Zain, hal. 104 mengatakan, “Di antaranya shalat sunnah wudhu seletah selesai berwudhu sebelum waktu berselang lama setelah selesai

Boleh Menggabungkan sholat sunnah wudhu dengan sholat sunah lainnya
Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ mengatakan, “Kalau seorang muslim berwudu, lalu masuk masjid setelah azan zuhur. Kemudian shalat dua rakat dengan niat untuk keduanya; tahiyatul masjid, sunnah wudhu dan sunah Zuhur, maka hal itu diterima untuk ketiganya. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, “Sesungguhnya amalan itu tergantung niat. Dan masing-masing orang tergantung apa yang diniatkan.” Hanya saja, disunnahkan baginya melaksanakan dua rakaat lainya untuk menyempurnakan rawatib qobliyah zuhur. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam biasanya selalu shalat (sunnah) sebelum zuhur sebanyak empat rakaat.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 7/248-249)

Sumber:

Hukum Shalat Sunnah Dua Rakaat Ba’diyah Ashar


Sebagian orang melaksanakan shalat sunnah ba’diyah Ashar di masjid, kemudian pak imam dan masyarakat setempat mengingkari perbuatan orang tersebut. Terdapat perbedaan para ulama tentang sunnah tidaknya ba’diyah Ashar.

Dalil-Dalil Larangan Shalat Setelah Ashar

1. Riwayat berikut:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
Janganlah shalat setelah subuh sampai terbitnya matahari, dan janganlah shalat setelah Ashar sampai terbenamnya matahari. (HR. Al Bukhari No. 586)

2 Dari Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu:
إِنَّكُمْ لَتُصَلُّونَ صَلَاةً لَقَدْ صَحِبْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا رَأَيْنَاهُ يُصَلِّيهِمَا وَلَقَدْ نَهَى عَنْهُمَا يَعْنِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْر
Kalian melakukan shalat, padahal kami telah bersahabat dengan Rasulullah dan kami belum pernah melihatnya shalat tersebut, dan dia telah melarangnya, yakni dua rakaat setelah Ashar. (HR. Al Bukhari No. 587)

Dan lainnya yang semisal.

Dalil-dalil Bolehnya Shalat Setelah Ashar

Dari Aisyah Radhiallahun’Anha:
رَكْعَتَانِ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَعُهُمَا سِرًّا وَلاَ عَلاَنِيَةً: رَكْعَتَانِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ العَصْرِ
Dua rakaat yang Nabi tidak pernah meninggalkannya, baik secara diam-diam dan terang-terangan; yaitu dua rakaat sebelum shalat subuh, dan dua rakaat setelah shalat Ashar. (HR. Al Bukhari No. 592)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ عِنْدِي قطّ
Sedikit pun Belum pernah Rasulullah meninggalkan shalat setelah Ashar ketika bersamaku. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Syuraih bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat setelah ashar, ‘Aisyah menjawab:
صَلِّ إِنَّمَا نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةِ إِذَا طلعت الشمس
Shalatlah (ba’da ashar), sesungguhnya yang Rasulullah larang adalah shalat ketika matahari terbit. (HR. Ibnu Hibban No.1568. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Syuaib Al Arnauth, dan lainnya)

Dari Aisyah Radhiallahu “Anha:
عَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ العصر في بيتي حتى فارق الدنيا
“Rasulullah tidak pernah meninggalkan dua rakaat setelah Ashar di rumahku sampai meninggalkan dunia. (HR. Ibnu Hibban No. 1573, juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Syuaib Al Arnauth dan lainnya)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
مَا مِنْ يَوْمٍ كَانَ يَأْتِي عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا صَلَّى بَعْدَ العصر ركعتين
Tidaklah sehari pun kedatangan Rasulullah melainkan dia shalat setelah ashar dua rakaat. (HR. Ibnu Hibban No. 1573, juga dishahihkan oeh para ulama)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كان عندي بعد العصر صلاهما.
Dahulu Rasulullah jika sedang bersamaku, Beliau shalat dua rakaat setelah ashar. (HR. An Nasa’i No. 576, Abu Daud No. 1160. SHAHIH)

Sikap Manusia Pada Zaman Salaf
Pada zaman awal Islam, mereka pun terbagi menjadi dua kelompok antara pro dan kontra.

Pihak Yang Membolehkan
‘Atha bercerita:
أَنَّ عَائِشَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ كَانَتَا تَرْكَعَانِ بَعْدَ الْعَصْرِ
Bahwa Aisyah dan Ummu Salamah shalat dua rakaat setelah ashar. (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No. 3969)

Dari Ashim bin Abi Dhamrah bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu shalat dua rakaat setelah ashar di tendanya. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 7352)

Hisyam bin Urwah bercerita:
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ ابْنِ الزُّبَيْرِ الْعَصْرَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، فَكَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ، وَكُنَّا نُصَلِّيهِمَا مَعَهُ نَقُومُ صَفًّا خَلْفَههُ
Kami shalat Ashar di masjidil haram bersama Abdullah bin Az Zubair, saat itu dia shalat dua rakaat setelah ashar. Kami shalat juga bersamanya dengan membuat shaf dibelakangnya. (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No. 3979)

Ibnu Aun bercerita, “Aku melihat Abu Burdah bin Abi Musa shalat dua rakaat setelah ashar.” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 7347)

Selain Aisyah, Ali, Abdullah bin Az Zubeir Radhiallahu ‘Anhum, masih banyak lagi generasi tabi’in yang shalat dua rakaat setelah Ashar, seperti Abu Sya’tsa, Al Aswad bin Yazid, Amru bin Husein, Abu Wail, Masruq, Syuraih, dan lainnya. (Lihat dalam Al Mushannaf Ibni Ab Syaibah No. 7347, 7348, 7350)

Apakah mereka tidak tahu ada larangan shalat setelah Ashar Di jelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar:
فائدة فهمت عائشة رضي الله عنها من مواظبته صلى الله عليه وسلم على الركعتين بعد العصر أن نهيه صلى الله عليه وسلم عن الصلاة بعد العصر حتى تغرب الشمس مختص بمن قصد الصلاة عند غروب الشمس لا إطلاقه
Faidah dari hadits ini, bahwa Aisyah memahami dari seringnya Nabi shalat dua rakaat setelah ashar, bahwa larangan tersebut berlaku khusus bagi mereka yang memaksudkan shalat sampai terbenam matahari bukan larangan secara mutlak. (Fathul Bari, 2/66)

Jadi, bagi Aisyah Radhiallahu ‘Anha, larangan tersebut berlaku untuk mereka yang bermaksud melakukan shalat sampai matahari terbenam, bukan larangan semata-mata ba’diyah ashar.

Pihak Yang Melarang

Abu Ghadiyah bercerita:
رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَضْرِبُ النَّاسَ عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ
Aku melihat Umar bin Al Khathab memukul orang yang shalat dua rakaat setelah ashar. (Abdurrazzaq,Al Mushannaf, No. 3966)

Perbuatan Umar Radhiallahu ‘Anhu ini juga diceritakan oleh Jabir dan Ibnu Abbas Radhialahu ‘Anhuma. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 7336, 7341)

Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma juga membencinya. Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas tentang shalat dua rakaat setelah Ashar, maka dia melarangnya, lalu kata Thawus “Tapi Aku tidak pernah meninggalkannya”, maka Ibnu Abbas mengutip ayat: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al Ahzab: 36). (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No.3975)

Apakah mereka tidak tahu adanya riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu “Anha, bahwa Nabipernah melakukannya, bahkan sangat sering Pastilah mereka tahu, tapi mereka memahami secara berbeda. Bagi mereka shalatnya Nabi dua rakaat setelah ashar adalah menqadha shalat ba’diyah zhuhur, bukan karena semata ingin shalat ba’diyah ashar.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:

Ucapan Aisyah “Nabi tidak pernah meninggalkannya sampai wafat”, “Dia tidak pernah meninggalkannya”, dan ucapannya “Tidaklah Beliau mendatangiku dalam sehari melainkan dia shalat dua rakaat setelah ashar”, maksudnya adalah pada saat nabi disibukkan oleh sesuatu yang membuatnya tidak melakukan ba’diyah zuhur, maka Beliau pun melakukannya setelah ashar. Beliau bukan bermaksud bahwa Nabi shalat dua rakaat setelah ashar sejak adanya awal kewajiban shalat sampai akhir umurnya. (Fathul Bari, 2/66)

Ini juga dikatakan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:
إنما صلى النبي صلى الله عليه وسلم الركعتين بعد العصر لأنه أتاه مال فشغله عن الركعتين بعد الظهر فصلاهما بعد العصر ثم لم يعد
Sesungguhnya shalatnya Nabi sebanyak dua rakaat setelah ashar hanyalah karena telah datang kepadanya harta yang membuatnya sibuk tidak sempat shalat rakaat dua rakaat ba’diyah zuhur, lalu dia melakukannya setelah ashar dan tidak mengulanginya. (HR. At Tirmidzi No. 184, katanya: hasan)

Hal ini tegas sebagaimana riwayat Imam Al Bukhari Rahimahullah berikut:
وَقَالَ كُرَيْبٌ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ
Kuraib berkata, dari Ummu Salamah: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat setelah ashar sebanyak dua rakaat. Beliau bersabda: “Orang-orang dari Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua rakaat setelah zhuhur.” (Shahih Bukhari, diriwayatkan secara mu’allaq dalam Bab Maa Yushalla Ba’dal ‘Ashri wa Minal Fawaa-it wa Nahwiha)

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahmahullah berkata:
قال الكرماني وهذا دليل الشافعي في جواز صلاة لها سبب بعد العصر بلا كراهة
Berkata Al Karmani: “Ini adalah dalil bagi Asy Syafi’i tentang kebolehan shalat setelah ‘Ashar jika memiliki sebab, sama sekali tidak makruh.” (‘Umdatul Qari, 8/19)

Imam Badruddin Al ‘Aini mengomentari pendapat ini:
قلت هذا لا يصلح أن يكون دليلا لأن صلاته هذه كانت من خصائصه كما ذكرنا فلا يكون حجة لذاك
Aku berkata: tidak benar menjadikan hadits ini sebagai dalil, karena shalatnya ini merupakan bagian dari kekhususan bagi Beliau, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atas hal itu. (Ibid)

Artinya Imam Al ‘Aini tetap melarang shalat setelah ashar, walau pun ada sebab. Dan menurutnya pembolehan di atas hanya khusus bagi Nabi.

Imam Al Kisani Al Hanafi juga demikian, menurutnya shalatnya Nabi setelah Ashar adalah spesial baginya, bukan selainnya, dan itu dalam rangka qadha ba’diyah zhuhur sbgmn riwayat Ummu Salamah. (Lihat Bada’i Ash Shana’i, 1/296)

Namun, pendapat ini dianggap lemah, sebab kenyataannya para sahabat melakukannya shalat sunah, mereka shalat setelah Ashar yaitu shalat jenazah, dan tidak satu pun sahabat lain yang melarangnya. Sehingga menurut Imam An nawawi dan Imam Abul Hasan Al Mawardi telah ijma’ kebolehannya shalat sunah diwaktu terlarang jika ada sebab. (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/174. Juga Al Hawi Al Kabir, 3/48)

Demikianlah pihak yang melarang; seperti Umar, Ibnu Abbas, Mu’awiyah, dan umumnya para ahli fiqih. Sekali pun mereka membolehkan, itu adalah konteks mengqadha shalat ba’diyah zhuhur, atau jika dilakukan karena sebab khusus, baik karena tahiyatul masjid, shalat jenazah, dan semisalnya sebagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik (Lihat Mukhtashar Al Inshaf, 1/161), ini pun tidak semua setuju, seperti Atha, An Nakha’i, dan Abu Hanifah mengingkari kebolehan itu berdasarkan hadits larangannya secara umum (Ibid, lihat juga Al Hawi Al Kabir, 3/48). Pengingkaran ini menganulir klaim ijma’ yang disampaikan oleh Imam An Nawawi dan Imam Al Mawardi sebelumnya.

Kenapa bisa terjadi perbedaan
Untuk hak ini, Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah memiliki pandangan yang sederhana tapi jitu, katanya:

Ada pun perbedaan mereka tentang shalat setelah Ashar disebabkan oleh adanya atsar-atsar yang bertentangan. Dalam hal ini ada dua riwayat yang bertentangan.

PERTAMA. Hadits Abu Hurairah yang disepakati keshahihannya bahwa: “Rasulullah melarang shalat setelah Ashar sampai terbenamnya matahari dan melarang shalat setelah subuh sampai terbitnya matahari.”

KEDUA. Hadits ‘Aisyah, Beliau berkata: “Rasulullah tidak pernah meninggalkan dua shalat di rumahku sedikit pun baik diam-diam atau terang-terangan, yaitu dua rakaat sebelum Subuh, dan dua rakaat setelah Ashar.”

Maka, bagi siapa yang menguatkan hadits Abu Hurairah akan berpendapat hal itu terlarang, dan siapa yang menguatkan hadits ‘Aisyah atau menilainya hadits ini menghapus hadits sebelumnya, karena ini adalah perbuatan yang Beliau lakukan sampai wafat, akan berpendapat ini boleh. (Bidayatul Mujtahid, 1/110)

Sikap Terbaik
Sikap terbaik adalah seperti yang diajarkan oleh para imam, agar kita toleran atas perselisihan fiqih seperti ini.

Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hambal tentang shalat sunah setelah Ashar, beliau berkata:
لا نفعله ولا نعيب فاعله
Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya. (Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)

Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:
سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/ 133)

Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُججْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, 1/285)


Sumber: http://www.dakwatuna.com