Sesungguhnya diantara hikmah
dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah
tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-tathowwu’
dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan
yang terdapat pada ibadah wajib.
Dan sesungguhnya
at-tathowwu’ di dalam ibadah sholat yang paling utama adalah sunnah rawatib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah
sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).
Mengingat pentingnya ibadah
ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana sholat fardhu,
sehingga saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari hukum-hukum sholat
rawatib secara ringkas:
1. Keutamaan Sholat Rawatib
Ummu Habibah radiyallahu
‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sholat sunnah rawatib,
dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang sholat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan
baginya rumah di surga”. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan
sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah berkata:
Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari
Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah
mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak
pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus.
(HR. Muslim no. 728)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah rawatib sebelum
(qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
“Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya”. Dalam riwayat
yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia
seisinya” (HR. Muslim no. 725)
Adapun sholat sunnah sebelum
shubuh ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah rawatib dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik
ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.
Ummu Habibah radhiyallahu
‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya
mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah
haramkan baginya api neraka”. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi
no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)
2. Jumlah Sholat Sunnah
Rawatib
Hadits Ummu Habibah di atas
menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12
rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah
radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada
sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga,
(yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat
sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh”.
(HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)
3. Surat yang Dibaca pada
Sholat Rawatib Qobliyah Subuh
Dari Abu Hurairah
radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada
sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun dan surat Al
Ikhlas (HR. Muslim no. 726)
4. Surat yang Dibaca pada
Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib
Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu
‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa
sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah maghrib:” surat
Al Kafirun dan surat Al Ikhlas (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata
Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)
5. Apakah Sholat Rawatib 4
Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?
As-Syaikh Muhammad bin
Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam,
seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu
salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu malam dan
siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh
Al-Utsaimin 14/288)
6. Apakah Pada Sholat Ashar
Terdapat Rawatib?
As-Syaikh Muammad bin
Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah
sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat ashar”. (Majmu’ Fatawa
As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)
7. Sholat Rawatib Qobliyah
Jum’at
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin
Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum sholat jum’at
berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi
disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat
beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)
8. Sholat Rawatib Ba’diyah
Jum’at
Dari Abu Hurairah
radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah
sesudahnya empat rakaat”. (HR. Muslim no. 881)
As-Syaikh Bin Baz
rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat sunnah
rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa
As-Syaikh Bin Baz 13/387)
9. Sholat Rawatib Dalam
Keadaan Safar
Ibnu Qayyim rahimahullah
berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar senantiasa
mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat sunnah witir
dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara sholat
sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315)
As-Syaikh Bin Baz
rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat rawatib
kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ fatawa 11/390)
10. Tempat Mengerjakan
Sholat Rawatib
Dari Ibnu Umar radiyallahu
‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah
di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan rumah kalian bagai
kuburan”. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)
As-Syaikh Muhammad bin
Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk
mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah
sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram
maupun masjid An-Nabawi; karena saat nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda
sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih
mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini
termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin 3/295)
11. Waktu Mengerjakan Sholat
Rawatib
Ibnu Qudamah berkata:
“Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu
sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib ba’diyah maka
waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya waktu sholat
fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)
12. Mengganti (mengqodho’)
Sholat Rawatib
Dari Anas radiyallahu ‘anhu
dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang lupa
akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan kecuali hal
itu”. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam,
witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/90)
13. Mengqodho’ Sholat
Rawatib Di Waktu yang Terlarang
Ibnu Qoyyim berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengqodho’ sholat ba’diyah dzuhur
setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau
melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu
terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus
pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad 1/308)
14. Waktu Mengqodho’ Sholat
Rawatib Sebelum Subuh
Dari Abu Hurairah
radiyallahu ‘anhu berkata, rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka
sholatlah setelah matahari terbit”. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh
Al-albani)
Dan dari Muhammad bin
Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh
dikerjakan hingga selesai, kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling
menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu
bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?”. Maka saya
berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum subuh,
rasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa”. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu
Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam
(terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267,
dan Al-Albani menshahihkannya)
As-Syaikh Muhammad bin
Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan
jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat
mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh,
tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi
tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)
15. Jika Sholat Subuh
Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu
atau Sholat Subuh?
As-Syaikh Muhammad bin
Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas sholat fardhu
(subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat subuh,
meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid”
(Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)
16. Pengurutan Ketika
Mengqodho’
As-Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat rawatib qobliyah dan
ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan
lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk masjid
yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang
mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang
pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian
empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)
17. Mengqodho’ Sholat
Rawatib yang Banyak Terlewatkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ sholat rawatib dan selainnya,
karena merupakan sholat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)… kemudian
jika sholat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan
diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan
dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika rasulullah mengerjakan
empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya
secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah
mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu tersebut.…. Dan jika
hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan
semuanya sebagaimana perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat
sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama sholat rawatib”.
(Syarh Al-’Umdah, hal. 238)
18. Menggabungkan
Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’
As-Syaikh Abdurrahman
As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat
rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib
dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan
keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan
keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah
satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)
19. Menggabungkan Sholat
Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu Duha
As-Syaikh Muhammad Bin
Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah subuhnya
terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka pada
keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha, dan
sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh
juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri
dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari
keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)
20. Menggabungkan Sholat
Rawatib dengan Sholat Istikhorah
Dari Jabir bin Abdullah
radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana
mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda:
“Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah dua
rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)
Al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu
digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh),
tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)
21. Sholat Rawatib Ketika
Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan
Dari Abu Huroiroh
radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila
iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu”.
(HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)
An-Nawawi berkata: “Hadits
ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat sunnah setelah iqomah
sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur,
ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)
22. Memutus Sholat Rawatib
Ketika Sholat Fardhu ditegakkan
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah
sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat rawatib, maka
disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan diri untuk
melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali
sholat fardhu..”, akantetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang
sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan
bagi dia untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada
saat sholat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa
11/392 dan 393)
23. Apabila Mengetahui
Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah Disyari’atkan Mengerjakan Sholat
Rawatib?
As-Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya
tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang kuat
bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan
meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat
bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan.
Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat
sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho’”. (Syarh Al-’Umdah, hal.
609)
24. Mengangkat Kedua Tangan
Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat Rawatib
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan
dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan
beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika
berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam
hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa
nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau
melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang
dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh
perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun
tidak. Bahkan seluruh kehidupan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)
25. Kapan Sholat Rawatib
Ketika Sholat Fardhu DiJama’?
Imam Nawawi rahimahullah
berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat fardhu dijama’ dan
tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga sholat rawatib
qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama’”. (Shahih Muslim
Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)
26. Apakah Mengerjakan
Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?
Dewan Tetap untuk Penelitian
Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan
nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian
setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan
‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-’Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)
27. Mendahulukan
Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu Sebelum Menunaikan Sholat
Rawatib
As-Syaikh Abdullah bin
Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat jenazah setelah
maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah selesai sholat
jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?
Jawaban beliau rahimahullah:
“Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian
menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya
sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah sholat fardhu merupakan
sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka
jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan sholat jenazah, maka
setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian
mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib
ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan sholat rawatib setelah
berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)
28. Tersibukkan Dengan
Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat Rawatib
As-Syaikh Muhammad bin
Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan
amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang
semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang
tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib, maka
memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’
Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)
29. Sholatnya Seorang
Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun Sholat Sunnah lainnya.
As-Syaikh Muhammad bin
Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah setelah sholat fardhu yang
bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan
bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun
melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu
merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh
atasannya.
30. Apakah Meninggalkan
Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’: (Sesungguhnya meninggalkan
sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan
tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka
barangsiapa yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah
dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan
demikian juga sebagian perkataan Fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib
merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan
yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan
maksiat maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat
seorang mukmin yang sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk
mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak
dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)
Sumber Artikel www.muslim.or.id