Melafalkan niat dalam ibadah termasuk masalah
furu’iyah, yang diperselisihkan di kalangan ulama fuqaha, antara yang
mengatakan sunnah dan tidak sunnah. Akan tetapi dari segi dalil, para ulama
fuqaha yang mengatakan sunnah, memiliki dalil yang sangat kuat dan otoritatif.
Sebelum menjelaskan dalil kesunnahan melafalkan niat dalam ibadah, ada baiknya
kami paparkan terlebih dahulu, tentang pendapat para ulama fuqaha madzhab yang
empat seputar melafalkan niat.
Ada tiga pendapat mengenai hukum melafalkan niat dalam ibadah.
Pertama, pendapat yang mengatakan sunnah, agar ucapan lidah dapat
membantu memantapkan hati dalam niat ibadah. Pendapat ini diikuti oleh madzhab
Hanafi dalam pendapat yang mukhtar, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali sesuai
dengan kaedah madzhab. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Nujaim dalam
al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48, al-Imam al-Khathib al-Syirbini dalam Mughni
al-Muhtaj juz 1 hal. 57, dan al-Imam al-Buhuti al-Hanbali dalam Kasysyaf
al-Qina’ juz 1 hal. 87.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa melafalkan niat dalam ibadah
adalah makruh. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan
sebagian ulama madzhab Hanbali. Hal ini juga diceritakan oleh Ibnu Nujaim dalam
al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48 dan al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal.
87.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa melafalkan niat dalam
ibadah adalah boleh (mubah), akan tetapi sebaiknya ditinggalkan. Kecuali bagi
orang yang waswas, maka melafalkan niat disunnahkan baginya, untuk
menghilangkan keraguannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Arafah
dalam Hasyiyah al-Dusuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir juz 1 hal. 233-234 dan al-Shawi
dalam al-Syarh al-Shaghir juz 1 hal. 304.
Demikian pendapat para ulama fuqaha madzhab empat tentang hukum
melafalkan niat dalam ibadah.
Sedangkan dalil yang dijadikan dasar para ulama yang menganjurkan
melafalkan niat dalam ibadah adalah hadits sebagai berikut ini:
عن
أَنَسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
لَبَّيْكَ بِعُمْرَةٍ وَحَجٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata (ketika akan menunaikan ibadah
haji dan umrah): “Aku penuhi panggilan-Mu, untuk menunaikan ibadah umrah dan
haji.” HR Muslim.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalmam
melafalkan niat dalam ibadah haji dan umrah. Apabila dalam satu ibadah,
melafalkan niat itu dianjurkan, maka dalam ibadah lainnya juga dianjurkan,
karena sama-sama ibadah. Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
عَنْ
عَائِشَة َأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمًا : هَلْ
عِنْدَكُمْ مِنْ غَدَاءٍ ؟ قَالَتْ لَا ، قَالَ : فَإِنِّي إذَنْ أَصُومُ ،
قَالَتْ : وَقَالَ لِي يَوْمًا آخَرَ أَعِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ قُلْتُ نَعَمْ ، قَالَ
: إذَنْ أُفْطِرُ وَإِنْ كُنْتُ فَرَضْتُ الصَّوْمَ ” رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ
وَصَحَّحَ إسْنَادَهُ
“Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa pada suatu hari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Apakah kalian mempunya makanan untuk
sarapan?” Ia menjawab: “Tidak ada.” Lalu beliau bersabda: “Kalau begitu, aku
berniat puasa.” Aisyah berkata: “Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata kepadaku: “Apakah kalian mempuanyai sesuatu (makanan)?” Aku menjawab:
“Ya.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, aku niat berbuka, meskipun tadi aku
bermaksud puasa.” HR. al-Daraquthni dan ia menshahihkan sanadnya.”
Dalam hadits di atas, jelas sekali Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam melafalkan niatnya untuk menunaikan ibadah puasa. Dalam ibadah puasa,
melafalkan niat disunnahkan, berarti dalam ibadah yang lain juga dianjurkan
karena sama-sama ibadah.
Perlu diketahui, bahwa dalam niat puasa, tidak harus menggunakan
redaksi nawaitu shauma ghadin (saya niat puasa besok), bahkan boleh juga dengan
redaksi ashumu ghadan (aku niat puasa besok) atau inni sha’imun ghadan (sungguh
aku puasa besok). Demikian pula, dalam niat shalat, tidak harus dengan redaksi
ushalli (saya niat shalat), akan tetapi boleh dengan redaksi nawaitu shalatal
‘ashri (saya niat shalat ashar) dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah.
Sekarang, apabila melafalkan niat dalam ibadah shalat dan wudhu’,
disunnahkan karena diqiyaskan dengan ibadah haji dan puasa, lalu bagaimana
dengan pernyataan sebagian kalangan Wahabi yang mengharamkan dan membid’ahkan
melafalkan niat dengan alasan kaedah la qiyasa fil ‘ibadat (tidak boleh
menggunakan qiyas dalam hal ibadah)? Tentu saja kaedah la qiyasa fil ‘ibadat
tersebut tidak benar dan bertentangan dengan penerapan para ulama salaf
terhadap dalil qiyas.
Ketika qiyas itu diakui sebagai salah satu dalil dalam pengambilan
hukum Islam, maka penerapannya bersifat umum, termasuk dalam bab ibadah. Oleh
karena itu, kita dapati para ulama salaf sejak generasi sahabat melakukan qiyas
dalam hal ibadah. Misalnya, al-Imam al-Hafizh Nuruddin al-Haitsami meriwayatkan
dalam kitabnya Majma’ al-Zawaid, bahwa sebagian sahabat seperti Anas bin Malik
menunaikan shalat sunnah 4 raka’at sebelum shalat ‘id. Sementara sahabat Ibnu
Mas’ud menunaikan shalat sunnah sesudah shalat ‘id empat raka’at. Padahal dalam
kitab tersebut juga diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah melakukan dan tidak menganjurkannya. Hal ini mereka lakukan karena
diqiyaskan dengan shalat maktubah, yang memiliki shalat sunnah rawatib, sebelum
dan sesudahnya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi
Wahabi Saudi Arabia, juga melakukan qiyas dalam hal ibadah. Al-Imam Ibnu Nashr
al-Marwazi meriwayatkan:
“Al-Imam Ahmad ditanya tentang qunut dalam shalat witir, sebelum
ruku’ atau sesudahnya, dan apakah dengan mengangkat tangan dalam doa ketika
shalat witir?” Beliau menjawab: “Qunut dilakukan setelah ruku’, dan mengangkat
kedua tangannya ketika berdoa. Demikian ini diqiyaskan pada perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam qunut shalat shubuh.” HR. Ibnu Nashr
al-Marwazi dalam Qiyam al-Lail, hal. 318.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Wahabi Saudi Arabia, yang wafat
beberapa waktu yang lalu, juga melakukan qiyas dalam bab ibadah. Dalam hal ini,
beliau berfatwa:
“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa
witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua tangan dalam shalat witir? Jawab:
Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua tangan dalam qunut shalat witir,
karena termasuk jenis qunut nazilah (yang dilakukan karena ada bencana). Dan
telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat kedua
tangannya dalam doa qunut nazilah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi
rahimahullah dengan sanad yang shahih.” Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan
Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 30 hal. 51.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa anjuran
melafalkan niat dalam ibadah adalah pendapat mayoritas ulama madzhab yang empat
(madzahib al-arba’ah). pendapat tersebut memiliki dalil yang kuat dan
otoritatif (mu’tabar), yaitu diqiyaskan kepada ibadah haji dan puasa, di mana
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melafalkan niat dalam keduanya. Pendapat
tersebut tidak dapat ditolak dengan alasan kaedah, la qiyasa fil ‘ibadat (tidak
boleh melakukan qiyas dalam bab ibadah). Karena qiyas termasuk dalil
pengambilan hukum dalam Islam, yang berlaku dalam semua bab. Oleh karena itu,
qiyas dalam bab ibadah telah diterapkan oleh para sahabat, al-Imam Ahmad bin
Hanbal dan bahkan oleh sebagian ulama terkemuka kaum Wahabi kontemporer
seperti Syaikh Ibnu Baz.
Wallahu a’lam.
Muhammad Idrus Ramli
di www.idrusramli.com