Pertanyaan yang
sering muncul dalam diri orang yang bertaubat dari meninggalkan shalat dan
shaum, apakah ia harus menqadha’ (mengulang) shalat dan puasanya yang telah
ditinggalkannya dahulu. Terkadang kebimbangan ini dimanfaatkan syetan untuk
melemahkan semangatnya dalam bertaubat. Sehingga ia merasa awang-awangen (sangat
tidak mampu) dalam menempuh jalan taubat itu. Akibatnya, ia berputus asa dari
rahmat Allah sehingga tetap dalam penderitaan jiwanya.
Syaikh bin Bazz
pernah mendapatkan pertanyaan serupa, tentang orang yang tidak pernah shalat
dan puasa. Ia melakukannya dengan sengaja. Setelah mendapat petunjuk, ia
bertaubat kepada Allah, menyesali dan menangisi kelalaiannya tersebut.
Sampai-sampai ia menjalankan qadha’ atas shalat-shalat, puasa, dan semua ibadah
yang telah ditinggalkannya dahulu. Pertanyaannya, apakah orang tadi memang
diperintahkan untuk menqadha’ shalat dan puasa, ataukah cukup ia taubat dan
jalankan ibadahnya sekarang?
Beliau menjawab,
“Siapa yang meninggalkan shalat dan puasa lalu bertaubat kepada Allah dengan
taubat nasuha, ia tidak harus menqadha’ apa yang pernah ditinggalkan. Karena
meninggalkan shalat adalah perbuatan besar yang mengeluarkan dari agama
(Islam), walaupaun orang yang meninggalkannya tidak menentang kewajibannya
menurut satu dari dua pendapat ulama yang lebih shahih. Allah Subhanahu Wa
Ta'ala berfirman,
قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ
سَلَفَ
“Katakanlah kepada
orang-orang yang kafir itu: Jika mereka berhenti (dari kekafirannya),
niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.
. . ” (QS. Al-Anfal: 38)
. . . Siapa yang
meninggalkan shalat dan puasa lalu bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha,
ia tidak harus menqadha’ apa yang pernah ditinggalkan . . . (Syaikh Ibnu Bazz)
Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda, “Islam menghancurkan apa yang sudah dikerjakan
sebelumnya (dari kekufuran), dan taubat menutup perbuatan-perbuatan
sebelumnya.”
Firman Allah Subhanahu
Wa Ta'ala,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ
اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya
Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian
tetap di jalan yang benar.” (QS. Thaahaa: 82)
Firman Allah Subhanahu
Wa Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً
نَّصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Hai orang-orang
yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,
mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan
kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,. . . ” (QS.
Al-Tahriim: 8)
Di antaranya sabda
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ
"Orang yang
bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa." (HR. Ibnu Majah dan
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).
Bagi orang yang
bertaubat disyariatkan memperbanyak amal-amal shalih setelah bertaubat. Juga
sering memohon kepada Allah agar tsabat (keteguhan) di atas kebenaran
dan husnul khatimah. Wallahu waliyyut taufiq.” (Selesai dari penuturan Syaikh
Ibnu Bazz. Lihat: Fatawa Islamiyah yang dikumpulkan Muhammad Musnid: 4/165)
Bisa kita bayangkan,
jika orang yang bertaubat dari meninggalkan shalat berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, lalu ia harus tetap menqadha’ (mengganti pelaksanaan) semua
shalat dan puasa tersebut, tentunya ini akan meyersulitkannya. Ini bisa
membuatnya awang-awangen (bahasa jawa,- merasa sangat berat) untuk
bertaubat. Dikhawatirkan, ia berputus asa lalu nekat dengan maksiatnya.
Walaupun diakui, di sana ada pendapar Jumbur ulama yang tetap mewajibkan orang
yang bertaubat dari meninggalkan shalat agar menqadha’nya. Mereka berdalil
dengan hadits-hadits qadha’ atas orang yang meningalkan shalat karena tertidur
dan lupa. Wallahu Ta’ala A’lam.
Oleh: Badrul Tamam
www.voa-islam.com