Shalat Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (3)

Para ahli hakikat dalam ilmu huruf memaknai kata shalawat tersusun dari seluruh hakikat pertalian berdasarkan dari pecahan katanya, yaitu, wushlah, shila, washlu, wishal, shaulah, dan shalaa.

Sifat-sifat tersebut merupakan subtansi atau hakikat pertalian, penggabungan, dan hubungan. Perkongsian makna yang menghimpun dalam susunan-susunan ini adalah penggabungan, pendekatan, pengikutan, dan penyatuan.

Makna wushlah adalah bersambungnya sesuatu yang bergabung dan bergabungnya sesuatu yang bersambung yang sebelumnya telah berpisah. Sedangkan, shilah ialah menyampaikan pemberian yang diingini dan diminta dari Sang Pemberi kepada yang diberi.

Kemudian, shaulah adalah terkoneksinya sambungan gerakan qahriyah dari Allah kepada hamba. Adapun salwu ialah mencondongkan punggung untuk khusyuk. Terakhir, du’au ialah permohonan untuk sampainya apa yang dimintanya dari tempat berdoa itu.

Adapun “shalawat” hamba kepada Allah adalah merupakan pengembalian kembali dirinya kepada hakikat ciptaannya sebagai al-insaniya al-kamaliyyah al-kulliyah al-ahadiyah al-jam’iyyah dan mengikatnya dengan kehadiran (khadhrah) yang dari sananya memikul bentuknya dan darinya pula berawal dan berkembang.

Sementara, lima kulliyah berdasarkan al-hadharaatul khamsah al-ilahiyah adalah pertama hakikatnya, yaitu al-‘ain al-tsabit yang bentuknya hanya dalam pengetahuan Allah sejak pertama pada zaman azali dan berakhirnya.

Kedua, Ruhnya. Hakikat nafas rahmani yang  terakses dari al-‘ain al-tsabit di atas. Ketiga, jasmaninya, yaitu bentuk dan posturnya secara fisik. Keempat, hakikat hati, ahadiyah jam’i rohaninya dan tabiatnya.

Terakhir akal, adalah kekuatan yang dengannya dapat mencermati berbagai hakikat dan merasionalkannya, mengetahui berbagai ilmu pengetahuan, baik secara global maupun detail.


Prof Dr Nasaruddin Umar
http://www.republika.co.id/