Para ahli hakikat dalam ilmu
huruf memaknai kata shalawat tersusun dari seluruh hakikat pertalian
berdasarkan dari pecahan katanya, yaitu, wushlah, shila, washlu, wishal,
shaulah, dan shalaa.
Sifat-sifat tersebut
merupakan subtansi atau hakikat pertalian, penggabungan, dan hubungan.
Perkongsian makna yang menghimpun dalam susunan-susunan ini adalah
penggabungan, pendekatan, pengikutan, dan penyatuan.
Makna wushlah adalah
bersambungnya sesuatu yang bergabung dan bergabungnya sesuatu yang bersambung
yang sebelumnya telah berpisah. Sedangkan, shilah ialah menyampaikan pemberian
yang diingini dan diminta dari Sang Pemberi kepada yang diberi.
Kemudian, shaulah adalah
terkoneksinya sambungan gerakan qahriyah dari Allah kepada hamba. Adapun salwu
ialah mencondongkan punggung untuk khusyuk. Terakhir, du’au ialah permohonan
untuk sampainya apa yang dimintanya dari tempat berdoa itu.
Adapun “shalawat” hamba
kepada Allah adalah merupakan pengembalian kembali dirinya kepada hakikat
ciptaannya sebagai al-insaniya al-kamaliyyah al-kulliyah al-ahadiyah
al-jam’iyyah dan mengikatnya dengan kehadiran (khadhrah) yang dari sananya
memikul bentuknya dan darinya pula berawal dan berkembang.
Sementara, lima kulliyah
berdasarkan al-hadharaatul khamsah al-ilahiyah adalah pertama hakikatnya, yaitu
al-‘ain al-tsabit yang bentuknya hanya dalam pengetahuan Allah sejak pertama
pada zaman azali dan berakhirnya.
Kedua, Ruhnya. Hakikat nafas
rahmani yang terakses dari al-‘ain
al-tsabit di atas. Ketiga, jasmaninya, yaitu bentuk dan posturnya secara fisik.
Keempat, hakikat hati, ahadiyah jam’i rohaninya dan tabiatnya.
Terakhir akal, adalah
kekuatan yang dengannya dapat mencermati berbagai hakikat dan merasionalkannya,
mengetahui berbagai ilmu pengetahuan, baik secara global maupun detail.
Prof Dr Nasaruddin Umar
http://www.republika.co.id/
http://www.republika.co.id/