Imam atau orang yang ingin menunaikan shalat
sendiri (munfarid), disunnahkan untuk meletakkan sutrah (pembatas) dihadapannya.
Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُم فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئاً،
فإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصُبْ عَصاً، فإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصاً
فَلْيَخْطُطْ خَطَّاً ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
"Jika salah seorang dari kalian shalat
maka hendaknya dia meletakkan sesuatu di hadapannya, jika ia tidak
mendapatkannya, maka hendaknya dia menancapkan tongkat, jika dia tidak
mempunyai tongkat maka hendaknya dia membuat garis, maka apa yang lewat di
depannya (di luar garis) tidak akan merugikannya.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah
dan Ahmad).
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ
بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
"Janganlah engkau shalat melainkan ke arah
sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorangpun lewat
di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap bersikeras ingin lewat), maka
perangilah dia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan).” (HR Ibnu
Khuzaimah)
Sutrah dapat berupa kursi, tongkat, tembok,
tempat tidur atau segala sesuatu lainnya yang dapat mencegah seseorang melintas
di hadapannya, ketika ia sedang shalat. Menurut pendapat terkuat, sebagaimana
dikemukakan oleh Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, melintas diantara
orang yang shalat dan sutrah-nya adalah haram. Dalam sebuah hadits, Rasulullah
shallallahu 'alahi wa sallam bersabda :
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ
لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
"Seandainya seseorang yang lewat di
hadapan orang yang shalat itu tahu sebesar apakah dosanya, maka berhenti
menunggu selama 40 adalah lebih baik baginya daripada ia melintas di hadapan
orang yang shalat itu. (HR Bukhari)
Perawi hadits ini tidak mengetahui dengan pasti apakah Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam menyebut 40 hari, bulan ataukah tahun.
Dan sebagian ulama fiqih mengecualikan jika
shalatnya dilakukan di Masjidil Haram, maka ada keringanan untuk lewat di depan
orang yang shalat, sebagaimana diriwayatkan Katsir bin Katsir bin al-Muthalib
dari bapaknya dari kakeknya, berkata: “Aku melihat Rasulullah shalat menghadap
hajar aswad sedangkan manusia berlalu lalang diantara keduanya.” Dan pada
riwayat Muthalib bahwasanya ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallahu
‘alaihi wa sallam apabila telah selesai melakukan thawaf 7 kali, kemudian
mendekat ke sudut antara dirinya dan saqifah, kemudian shalat dua rakaat di
pinggir tempat thawaf tersebut, sedangkan antara beliau dan tempat tersebut
tidak terdapat sutrah”. Dan hadits ini seandainya sanadnya dhoif maka masih
terdapat atsar-atsar yang bisa menguatkan hal ini, dan diperkuat dengan
keumuman dalil raf’ul kharaj (mengangkat kesulitan), karena larangan lewat di
depan orang yang shalat di Masjidil Haram adalah perkara yang berat dan sulit.
Wallahu a’lam
Sumber: kyaijawab.com, fatawaulamaislam.wordpress.com